Rabu, 16 Desember 2009

sebuah musim

Dingin mengucapkan salam dari balik jendela dan saya bertemu kabut sore hari. Genangan-genangan air memantulkan awan putih yang berarak mengucapkan selamat tinggal, menyisakan desah yang menyelimuti setiap celah genting rumah – seperti daun yang menggigil kedinginan dan anjing yang meringkuk malas di teras beku.

Setiap hari adalah musim yang menjadi sejarah di tempat ini – kecuali putihnya bunga kemboja dan hijaunya rumput pagar yang tertunduk diam. Musim ini saya bertemu warna-warni tanpa kepala dari kaki-kaki basah yang hilir mudik mencari kehangatan di sebuah tempat yang disebut rumah. Sementara disini,gemerisik gamelan masih segar menyuarakan doa-doa bersama kepulan asap kopi yang kental pekat.

Pada musim lalu saya masih bertemu penjor penjor cantik di sepanjang jalan. Wanita wanita berkebaya putih– seperti juga sapaan hangat mentari yang menerobos lewat sela-sela daun kemboja. Langit dilingkupi cahaya emas yang menyilaukan yang kemudian berganti dengan orange terang, walaupun terkadang merah tua. Berisik anak-anak di lapangan tembok berkejaran dibawah bayang layang-layang yang melukis langit – bersama angin yang membawa bau dupa di persawahan di sore hari.
Musim telah berganti karena bosan – menyembunyikan kehangatan dibalik malam dan asapnya yang kelabu. Gelap lebih cepat datang, menyandera sore hari dalam kegelisahan.....

Di musim ini saya hanya bertemu cermin langit di trotoar, lapangan tembok dan yang dilalui. Sapaan dari bunga-bunga yang kedinginan terasa seperti bisikan sepi dari sebuah kekosongan – berdengung diantara suara televisi dan cangkir-cangkir kopi.

Setiap musim memang menjadi sejarah di tempat ini. Menunggu peristiwa yang lain pada musim yang lain- kecuali putihnya bunga kemboja dan hijaunya rumput pagar yang setia menunggu waktu……

:: gincumerah::

Tidak ada komentar:

Posting Komentar