Selasa, 29 Desember 2009

merindu kesederhanaan

semuanya bergerak cepat tanpa toleransi
kemudian dia datang
dengan tidak memberikan saya sedikitpun waktu untuk kembali berfikir, memilih, merenung dan menjaga jarak pada apapun yang berwujud kesakitan.
dia menampar saya terlalu kuat
hingga tak sedikit pun akal sehat tertinggal
bersarang di otak kiri,
lalu kita kembali menyulam benang benang itu
satu demi satu hingga tercipta sebuah ornamen
atas nama pertemuan
saya hanyalah perempuan
yang berdansa di bawah rintik air hujan
yang menari pada terpaan ombak pinggir pantai
yang bernyanyi dengan sengau
saya..
merindu kesederhanaan

.:biduwanita:.

Senin, 28 Desember 2009

i dream inside...







...the kaleidoscope







.:biduwanita:.

Minggu, 27 Desember 2009

the untitled


miss the far,
lone,
and lovely somewhere,
would u stay in my homeless mind
so we could go, to a nowhere land..

.:biduwanita:.


photos taken from : eternal sunshine of the spotless mind

tertampar keras

dan berkata katalah saya pada lelaki itu
seperti ketika saya memuja bintang di langit
seperti ketika saya memuja venus di barat
karena cinta adalah smashing pumpkins
karena kata kata indahnya
adalah secangkir teh hijau hangat
dibiru kamar ini
lalu dia datang
dengan busur yang di panah pada ujung ulu hati
memendar atom-atom di jempol kaki
lalu menghilang
menampar keras
karena indah
sebelum rasa kelu dilidahku
karena sanjungan
sebelum pahit di tenggorokan
dia terlalu hebat
dengan sejuta sumpah serapah
atas nama cinta.

.:biduwanita:.

Rabu, 23 Desember 2009

untuk kesekian kalinya

terimakasih kepadamu
saya akan lebih giat menyakiti diri saya sendiri

.:biduwanita:.

Senin, 21 Desember 2009

melangut teruk

dan dia berdiri disana,
siluet nya begitu indah senja ini,
saya hanya bisa menatap dari jauh dalam langutan berbisik merintih sakit,
teruk tak terlepaskan,
dia memang tak tergapai, seperti autis.
lalu dia memulai kalimatnya dari kejauhan,
tapi hari ini ini saya hanya terlalu lelah untuk mendengarkan,
bahkan hanya untuk sebuah suara nafas yang keluar dari hidungnya.
kemudian pada langit saya berkata,
sebuah pesan yang mungkin akan dia mengerti,
sebuah perang dalam hati,
pada cinta dan berahi
ini sakral,
semoga dia mengerti.

.:biduwanita:.

kelak terdampar

seperti biasa, langit kembali menjingga
awan berarak, berjabat mesra pada cakrawala beraroma laut
dan saya masih saja terdiam disini
melihat satu persatu pasir yang bergulir
bersama buih buih dari air yang menyapa dari utara
dan saya hanya ingin berlari jauh
dimana saya akan membuat cerita
bersama batang batang cemara pinggir pantai
dengan kolam air asin di puncak bukit
dan kamu berdiri di sana
dan saya terdampar
terdampar sampai dasar..

.:biduwanita:.

Jumat, 18 Desember 2009

sebuah epilog

Dan perempuan pun menatap langit.
Merindukan bulan.
Di sampingnya matahari menggenggam jemarinya.
Memeluknya dengan sinar hangat yang menentramkan hati.
Tetapi entah mengapa ia masih menatap langit.
Berharap bulan akan muncul lagi.
Dia tidak ingin sapaan. Hanya ingin melihatnya.
Walaupun Dia tahu tidak mungkin lagi memeluk bulan.
Tidak mungkin lagi menggenggam jemarinya.
Matahari menatapnya, bertanya tanya mengapa ia masih saja menatap langit yang kemilau.
Perempuan itu tersenyum, menggelengkan kepalanya.
“Hanya menatap ” katanya. “ indah”
Dia berbohong, tidak ingin melukai matahari.
Tersenyum, perempuan itu membalas pelukan matahari.
Menyandarkan kepalanya, merasakan degupan jantung yang menenangkan.
Matanya terpejam sesaat, dan kembali menatap langit, diam-diam.
Menunggu bulan……….

::gincumerah::

the photograph



...dan dia pun berjalan pulang...

::gincumerah::

monolog lain

berkencan dengan hujan tidak pernah selesai dengan seketika
begitupun monolog ini,
karena menunggu adalah bulir-bulir padi yang menguning
karena penantian adalah rasa sakit dipangkal lidah ini
lalu saya kembali mencoba berjalan,
menapak pada bumi yang semakin ringkih
yang menyapa halus pada lapisan terluar telapak kaki ini
saya hanya ingin menikmati ini
merasakan dingin
ketika rintiknya masuk melalui helai demi helai rambut
merasakan tenang
ketika baunya menusuk sampai tenggorokan
hingga lidah ini kebal
hingga hati ini kelu
hingga saat itu datang
dimana kebahagiaan memilih saya
untuk menemaninya seumur hidup

.:biduwanita:.

Kamis, 17 Desember 2009

sehelai poscard dari kota tua


taken from gincumerah journal

…….Pernah saya menulis berbaris kata untuk seutas mimpi semu – tentang dia, nebula – seperti candu. Tapi ia memberi untaian kalung berisi kekecewaan dan butir-butir kepalsuan dalam seribu desimal ciumannya yang terlumuri racun. Menggoreskan ukiran kepura-puraan dalam sejuta persetubuhannya yang terselimuti kenistaan. Mahluk asing telah menjemputnya dari rimba jauh, untuk memasungnya kembali dalam gelembung kenikmatan yang menjanjikan surga. nebula pun, rindu untuk mencicipi kebebasannya lagi, pergi tanpa menoleh. Meninggalkan pundi pundi omongkosong yang tergagahi oleh angkara.

Kemudian dalam sebuah perjalanan, saya menulis lagi, tentangnya, dalam sebuah fragmen kekusutan manusia pada lembar-lembar tuli dan gagap.

Dalam sebuah buku. Yang saya namakan ketiadaan…….


::gincumerah::

Tatiana

lalu hujan datang lagi
menyapa Tatiana pada malam malam sepi, pada daun daun di pucuk pinus sebuah bukit berbaling.
satu satu Tatiana menaiki tapak itu, tapak tanah yang telah menjadi keseharian Tenggara.
tapak tanah yang telah menemani perjalanan tenggara,

perjalanan akan kesendirian, berwarna, tapi hanya hitam dan putih.

lalu pucuk pinus berbisik, "tenggara selalu datang tiap hari..", katanya
"dia datang kemari bersama layla"

layla, seorang perempuan bertubuh kecil, manis, dan berhati tangguh
layla, yang kini menjadi teman dalam hidup tenggara
layla, yang mengajarinya untuk tidak menjadi lemah
layla yang sangat berbeda dengan tatiana..

lalu tatiana bungkam
tak ada satu kalimatpun yang dapat ia sampaikan pada pucuk pinus
ia mengerti..
dan pinus pun memahami..

.:biduwanita:.

Rabu, 16 Desember 2009

sebuah musim

Dingin mengucapkan salam dari balik jendela dan saya bertemu kabut sore hari. Genangan-genangan air memantulkan awan putih yang berarak mengucapkan selamat tinggal, menyisakan desah yang menyelimuti setiap celah genting rumah – seperti daun yang menggigil kedinginan dan anjing yang meringkuk malas di teras beku.

Setiap hari adalah musim yang menjadi sejarah di tempat ini – kecuali putihnya bunga kemboja dan hijaunya rumput pagar yang tertunduk diam. Musim ini saya bertemu warna-warni tanpa kepala dari kaki-kaki basah yang hilir mudik mencari kehangatan di sebuah tempat yang disebut rumah. Sementara disini,gemerisik gamelan masih segar menyuarakan doa-doa bersama kepulan asap kopi yang kental pekat.

Pada musim lalu saya masih bertemu penjor penjor cantik di sepanjang jalan. Wanita wanita berkebaya putih– seperti juga sapaan hangat mentari yang menerobos lewat sela-sela daun kemboja. Langit dilingkupi cahaya emas yang menyilaukan yang kemudian berganti dengan orange terang, walaupun terkadang merah tua. Berisik anak-anak di lapangan tembok berkejaran dibawah bayang layang-layang yang melukis langit – bersama angin yang membawa bau dupa di persawahan di sore hari.
Musim telah berganti karena bosan – menyembunyikan kehangatan dibalik malam dan asapnya yang kelabu. Gelap lebih cepat datang, menyandera sore hari dalam kegelisahan.....

Di musim ini saya hanya bertemu cermin langit di trotoar, lapangan tembok dan yang dilalui. Sapaan dari bunga-bunga yang kedinginan terasa seperti bisikan sepi dari sebuah kekosongan – berdengung diantara suara televisi dan cangkir-cangkir kopi.

Setiap musim memang menjadi sejarah di tempat ini. Menunggu peristiwa yang lain pada musim yang lain- kecuali putihnya bunga kemboja dan hijaunya rumput pagar yang setia menunggu waktu……

:: gincumerah::

mengirim monolog

ini hanya sebuah cerita, tentang keseharian,
tentang perjalanan
tentang apapun yang saya rasakan

kepada embun
kepada siang
kepada senja
kepada bintang
kepada kamu

lalu saya kirimkan teks teks ini,
dengan format elektronik masa kini

tanpa harus kamu membacanya
tanpa harus kamu membalasnya
karena saya tau kapasitasmu
saya tau posisi kamu

tapi saya cukup egois memang
cukup egois untuk memulainya
cukup egois
untuk berjuta monolog yang akan datang


.:biduwanita:.